TORAJA
mempunyai nama tua "Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo" , yang
berarti negeri
dengan pemerintahan dan masyarakat berketuhanan yang bersatu
utuh bulat seperti bulatnya matahari dan bulan. Agama asli nenek moyang mereka
adalah Aluk Todolo yang berasal dari sumber Negeri Marinding Banua Puan yang
dikenal dengan sebutan Aluk Pitung Sa'bu Pitung Pulo. Kata Toraja itu sendiri
berasal dari bahasa Bugis to riaja, yang berarti ‘orang yang berdiam di negeri
atas’.
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk"). Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal.
Ukiran kayu
Suku Toraja
membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura atau tulisan. Motifnya
biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air
seperti gulma air dan hewan
seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri
memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel
tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar
suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan
kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup
dalam kedamaian, kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air,
menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan
yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan
keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik. Keteraturan dan
ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja.
UPACARA PEMAKAMAN (RAMBU
SOLO)
Upacara pemakaman merupakan ritual yang paling
penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya
upacara pemakamannya akan semakin mahal. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante
biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat
pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat
pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling,
nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita
yang dilakukan oleh suku toraja. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah
sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang
bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat).
Bagian lain
dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin
berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Suku Toraja
percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan
lebih cepat sampai di Puya. Sebagian daging tersebut diberikan kepada
para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga
almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing.
Mereka
menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus
menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang
menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan
menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut
disebut Ma'badong). Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing
ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya.Tarian Ma'randing
mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante,
tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan
tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian
Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan
kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak
lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut
Ma'dondan.
Tarian Ma'bugi dilakukan untuk
merayakan Hari Pengucapan Syukur dan
tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras.
Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan
oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan.Sebuah
tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua
adalah upacara toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau
dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Bahasa
Bahasa Toraja adalah
bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa
yang utama. Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa,
Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan
termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia
dari bahasa Austronesia. Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan
tentang duka cita kematian. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk
menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental.
Londa adalah bebatuan curam di sisi makam khas
Tana Toraja. Salah satunya terletak di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua
yang dalam dimana peti-peti mayat diatur sesuai dengan garis keluarga, di satu
sisi bukit lainya dibiarkan terbuka menghadap pemandanganhamparan hijau.
Upacara Adat Rambu Solo
Rambu Solo dalah upacara adat
kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan
menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali
kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan. Kerbau
yang disembelih dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan,
ini merupakan ciri khas masyarakat Tana Toraja. Kerbau yang akan disembelih
bukan hanya sekedar kerbau biasa, tetapi kerbau bule “Tedong Bonga” yang
harganya berkisar antara 10 – 50 juta per ekornya.
http://kebudayaanindonesia.net/pencarian?keyword=kebudayaan+toraja
http://kebudayaanindonesia.net/pencarian?keyword=kebudayaan+toraja






0 komentar:
Posting Komentar